oleh

Perkembangan Kasus HIV/AIDS di Nunukan di Dominasi Oleh Usia Produktif, Dinkes : Kurangnya Kesadaran Individu

-Kesehatan-11 Dilihat

Nunukan, AKSARAUTARA – Upaya Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Nunukan dalam mencegah penyebaran HIV/AIDS menghadapi berbagai tantangan, salah satunya yakni kurangnya kesadaran individu, khususnya dalam menjangkau yang termasuk dalam kelompok berisiko tinggi.

Dinas Kesehatan sendiri, telah mencatat sebanyak 36 kasus HIV terdeteksi sepanjang tahun 2024. Sementara itu, hingga Mei 2025, terdapat tambahan 8 kasus baru, mayoritas menjangkiti usia produktif.

Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinkes Nunukan, Nur Madia mengatakan, penyebaran HIV di Nunukan pada 2024 tersebar di 8 wilayah kerja Puskesmas, dengan angka tertinggi berada di Puskesmas Nunukan. Sedangkan untuk wilayah anatara lain Puskesmas Nunukan Timur, Puskesmas Sedadap, Puskesmas Setabu, Puskesmas Sei Nyamuk, Puskesmas Sebatik Utara, Puskesmas Sei Menggaris, dan Puskesmas Pembeliangan.

Selain persoalan akses, rendahnya kesadaran individu akan pentingnya pemeriksaan HIV secara rutin serta pengobatan antiretroviral (ARV), hal ini juga menjadi tantangan. Dengan berbagai kendala tersebut, banyak dari mereka belum memahami secara menyeluruh risiko penyebaran HIV maupun manfaat dari pengobatan yang tepat, yang kemudian akan berdampak pada potensi penyebaran HIV ke populasi yang lebih luas.

“Tahun 2024 ada 36 kasus, satu diantaranya meninggal dunia. Sampai Mei 2025 ini sudah bertambah 8 kasus baru. Penyebarannya masih didominasi usia produktif. Tahun lalu itu dari 36 kasus ada satu diantaranya anak Balita usia 2 tahun yang ditularkan dari ibunya,” ungkapnya.

Ia menjelaskan, sebagian besar kasus baru terdeteksi melalui pemeriksaan di fasilitas kesehatan, dan hasil pemantauan pada populasi kunci seperti lokalisasi, tempat hiburan malam, tempat pijat, maupun Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).

“Masa inkubasi HIV sangat panjang, bisa sampai 10 tahun baru muncul gejalanya. Seperti kasus Balita usia 2 tahun yang terdeteksi HIV. Ibunya sempat terdeteksi positif HIV saat lahirkan anak itu, tapi saat bayi itu dicek statusnya masih negatif. Seiring bertambah usianya, orang tuanya mulai melemah daya tahan tubuhnya, begitu petugas kami cek anak itu positif HIV,” ucap Nur Madia.

Dia mengaku, Dinkes Nunukan melalui Puskesmas secara rutin tiga bulan sekali melakukan edukasi dan skrining terhadap kelompok rentan. Selain edukasi dan skrining, petugas kesehatan juga melakukan pengambilan sampel darah pada tempat yang sudah dipetakan Dinkes Nunukan menjadi populasi kunci kasus HIV.

Meski begitu Nur Madia beberkan bahwa ada penolakan pengambilan sampel darah dari sebagian pihak, yang menurutnya merupakan hak individu.

“Petugas kami sudah terlatih. Mereka turun langsung ke lapangan, edukasi terus berjalan. Tapi kalau ada yang menolak diambil sampel darah, itu hak mereka, kami tidak bisa memaksa,” jelas Nur Maida.

Selain itu, setiap calon pengantin yang hendak menikah diimbau untuk menjalani tes kesehatan, termasuk pemeriksaan HIV.

Namun hasil tes tetap dijaga kerahasiaannya, kecuali kedua belah pihak menyepakati untuk saling terbuka. Dinkes Nunukan juga memastikan bahwa setiap pasien HIV mendapat pendampingan dan pengobatan rutin melalui Puskesmas.

“Pasien HIV wajib rutin minum obat dan dilakukan pemantauan. Per 6 bulan petugas kami di Puskesmas melakukan pengambilan sampel darah. Pengecekan per 6 bulan itu, untuk memastikan apakah virusnya sudah rendah untuk penularan setelah rutin minum obat selama 6 bulan atau tidak,” tambahnya.

Dinkes mengajak seluruh masyarakat untuk tidak menganggap remeh HIV, menghindari perilaku berisiko, dan segera melakukan pemeriksaan jika merasa berada dalam kelompok rentan.

“Kalau berharap sembuh total tidak mungkin. Obat yang diberikan kepada pasien HIV hanya untuk virusnya sudah rendah untuk penularan membuat virusnya menjadi lebih minim untuk penularan,” pungkasnya.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *