oleh

IDI Nunukan Sesalkan Pemberhentian Dokter yang Ikuti Pendidikan Spesialis dengan Biaya Pribadi

-Kesehatan-10 Dilihat

Nunukan, AKSARAUTARA – Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Nunukan, dr. Sholeh Rauf, menyayangkan kebijakan Pemerintah Kabupaten Nunukan yang memberhentikan empat dokter aparatur sipil negara (ASN) karena mengikuti pendidikan dokter spesialis dengan biaya sendiri.

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama DPRD Nunukan pada Selasa, 20 Mei 2025, dr. Sholeh menyebut keputusan tersebut bukan hanya mengecewakan, tetapi juga membingungkan kalangan medis di seluruh Indonesia.

“Pemberhentian ini menjadi citra kurang bagus bagi Nunukan dan membuat heran kalangan dokter se-Indonesia. Akan banyak dokter enggan bekerja di Nunukan,” ujarnya.

Keempat dokter tersebut merupakan ASN yang sebelumnya diusulkan oleh Pemkab Nunukan untuk menempuh pendidikan spesialis. Dari jumlah itu, dua orang telah menyelesaikan pendidikan, sementara dua lainnya masih dalam proses. Namun, karena tidak mendapatkan dukungan biaya dari pemerintah daerah, mereka melanjutkan pendidikan dengan dana pribadi.

Dua dokter yang diberhentikan, dr. Yulianti Yunus Konda dan dr. Fitriani, dianggap tidak menjalankan tugas sebagai tenaga kesehatan sejak tahun 2021 hingga 2024. Pemerintah resmi memberhentikan keduanya dari status ASN per 26 Maret 2025.

“Dokter Fitriani sudah menyelesaikan spesialis paru, sedangkan dr. Yulianti sedang menyelesaikan pendidikan spesialis akupuntur,” jelas dr. Sholeh.

Menurutnya, keputusan tersebut ironis karena Nunukan sebagai daerah perbatasan sangat membutuhkan dokter spesialis. Ia menilai pemerintah daerah seharusnya memberi dukungan, bukan justru menghilangkan potensi sumber daya manusia yang telah berjuang meningkatkan kompetensi.

“Saya tahu persis pengorbanan dr. Yulianti yang bertugas selama enam tahun di Mansalong, Kecamatan Lumbis. Ia tinggal di sana bersama anak kecilnya, sementara suaminya bekerja di Papua,” tambahnya.

Sementara itu, Kepala BKPSDM Nunukan, Sura’i, menjelaskan bahwa pemberhentian dilakukan karena pelanggaran disiplin kerja. Ia menyebut dr. Yulianti tidak memenuhi kewajiban masuk kerja dan melanggar ketentuan jam kerja sejak 18 Oktober 2022 hingga 2024.

“Pemerintah sudah memberikan pembinaan berupa surat peringatan (SP) I, II, dan III. Namun, tidak ada tanggapan baik dari yang bersangkutan hingga sanksi pemberhentian dijatuhkan,” ungkap Sura’i.

Meski demikian, Sura’i mengatakan bahwa dr. Yulianti masih memiliki peluang untuk mendapatkan kembali status ASN dengan mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Badan Pertimbangan Aparatur Sipil Negara (BPASN).

“Kalau dokter Yulianti bisa menang di BPASN, beliau bisa mendapatkan kembali status ASN di Nunukan. Saran ini juga sudah kami sampaikan langsung,” pungkasnya.

Kasus ini menjadi perhatian luas karena berkaitan dengan kebutuhan tenaga medis di daerah terpencil dan tantangan yang dihadapi dokter dalam mengembangkan kompetensi di tengah keterbatasan dukungan institusional.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *